pertanyaan sulit tentang hadits shahih
PertanyaanSeputar Malam Lailatul Qadar, Mulai dari yang Mudah hingga Sulit. Pertanyaan Tentang Malam Lailatul Qadar Beserta Jawabannya. Dok. Gurupenyemangat.com. 1. Jelaskan pengertian malam Lailatul Qadar secara lengkap! Qadar bisa berarti ukuran sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur'an Surah Ar-Ra'd ayat 8.
Adapunpertanyaan - pertanyaan mengenai sesuatu yang tidak berfaedah atau mengenai sesuatu yang tidak ada hajat untuk bertanya mengenainya, dan dalam jawabannya akan membuat beban hukum semakin berat dan sulit, maka hal itu haram. Allah memaafkan mengenai apa saja yang tidak Ia sebutkan dalam kitab-Nya.
JawabanHadist sahih, sebab Hadist sumber hukum yang lebih utama, dibandingkan Ijma' dalam islam Sumber hukum yang berasal dari pemikiran manusia selain Nabi, disebut? Jawaban: Dalil 'Aqli Apa saja sumber hukum berdasarkan Dalil Naqli? Jawaban Al-Quran Hadist Jelaskan secara singkat, apa yang dimaksud dengan Hiwalah?
1 Isra' Mi'raj adalah Jawaban: Isra' Mi'raj adalah dua peristiwa luar biasa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam satu malam. Isra' adalah perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa, dan Mi'raj adalah perjalanan beliau menuju Sidratul Muntaha alias langit ke tujuh untuk menjemput perintah Shalat. 2.
1 Ulama' hadis sulit sekali membedakan antara hadis Shahih dan Hasan dan di kalangan ahli hadis pada umumnya hanya membedakan pada sisi. A. Ke dabitan para rawinya B. Keadilan rawinya C. Ketegasan rawinya D. Status sosial rawinya E. Istiqomah rawinya 2. Hadis dari satu segi dapat ditinjau dari dua sisi yaitu sisi kuantitasnya dan kualitasnya.
Site De Rencontre Pour Femmes Enceintes.
Banyak orang yang belum bisa membedakan antara hadits dhaif yang berarti lemah dengan hadist maudhu yang berarti palsu. Padahal hadits dhaif itu sangat beragam modelnya. Suatu hadits dinilai dhaif karena tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Imam Al-Baiquni Umar bin Muhammad w. 1080 H dalam kitab Mandzumat al-Baiquniyyah meyebutkan وكل ما رتبة الحسن. فهو الضعيف وهو أقساما كثر Semua hadits yang tidak sampai level hasan, maka disebut hadits dhaif. Macam hadits dhaif ada banyak Paling tidak ada 5 syarat hadits disebut shahih, sebagiamana disampaikan oleh para ulama. Jika ditanya, apakah dahulu ketika Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam selesai menyampaikan suatu Hadits, beliau berujar “Hadits ini shahih, atau Hadits ini dhaif?” Tentu saja tidak Apakah dahulu para shahabat Nabi sudah menerapkan sistematika yang terstruktur dengan baik dalam menerima suatu Hadits? Harus tersambung sanadnya, adil dan dhabith rawinya misalnya? Tentu saja belum. Lalu darimana kita dapati lima syarat-syarat diterimanya suatu hadits yang kita kenal saat ini? Jawabannya adalah dari ijtihad para ulama. Untuk apakah Ijtihad itu dilakukan? Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuthi w. 911 H dalam kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi w. 911 H menyebutkan bahwa tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk mengetahui suatu hadits shahih yang benar-benar berasal dari Nabi yang nantinya bisa dijadikan hujjah Para ulama telah berusaha membuktikan otentisitas hadits; baik secara ekstern yang menyangkut sanad Hadits, maupun secara intern yang menyangkut matan Hadits. Berdasarkan kajian tersebut, secara gradual tersusunlah kerangka epistemologi untuk menentukan otentisitas sebuah hadits. Itulah yang nantinya disebut sebagai syarat-syarat ke-shahih-an Hadits. Hadits shahih merupakan salah satu modal dasar penetapan hukum syariat. Tak jarang, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum syariat, karena perbedaan mereka dalam menilai derajat suatu hadits. Suatu hadits dinilai dhaif karena tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu. Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi sanad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar. Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis, antara lain hadits muallaq معلّق, mursal مرسل, mu’dhal معضل, munqathi’ منقطع, mudallas مدلّس, mursal khafi مرسلْ خافي, mu’an-an معنعن dan muannan معنّن Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya. Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya. Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas perawi, di antaranya adalah hadits maudhu, matruk, munkar, ma’ruf, mu’allal, mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su’ul hifdz
Origin is unreachable Error code 523 2023-06-16 085847 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d81da42ef42b6fa • Your IP • Performance & security by Cloudflare
Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kiranya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami. TANYA Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits? JAWAB Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia, karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka selain Abu Hanifah dikenal sebagai ahli hadits. Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan. Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits. TANYA Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” [Fulan telah menceritakan kepada kami] dan “Akhbarana” [Fulan telah memberitahukan kepada kami]? JAWAB Di dalam tata cara Talaqqi mentransfer, menerima hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh Guru dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab tulisan-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural jamak, yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi sendirian dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian. Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh dengan metode Qiraa`ah, seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia si murid membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-Ardh” pemaparan dan “Qiraa`ah Ala asy-Syaikh” membaca kepada Syaikh. Mereka para ulama hadits mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan meriwayatkan hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima Mentransfer hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut. Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, Akhbarana” [Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya. SUMBER Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin Abdullah al-Humaid, TANYA Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy? JAWAB Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi. Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia Sunan an-Nasa`iy yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ palsu dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy. Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba artinya, ringkasan, intisari-red., dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus mengesankan daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut sehingga dinamai al-Mujtaba-red., atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah. Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud. Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy. Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if masih fity-fifty. Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya. Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus mengesankan atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini. TANYA Apa makna Thariiq’ Sanad? Dan apa pula makna matan? Tolong berikan contohnya. JAWAB Makna Thariiq Sanad adalah mata rantai jalur para periwayat yang menghubungkan matan. Sedangkan Matan adalah ucapan teks setelah sanad. Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud lafaznya diambil dari Abu Daud; Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, ia berkata, Hammad menceritakan kepada kami, ia berkata, dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk memasuki masjid-masjid Allah.” Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah SAW setelah itu dinamakan matan’.-red TANYA Berapa jumlah hadits di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Yang Dikritik Imam ad-Daaruquthni? JAWAB Secara global ada sekitar dua ratusan hadits. Terhadap Shahih al-Bukhari sebanyak 110 hadits, termasuk 32 hadits yang juga dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dan terhadap Shahih Muslim sebanyak 95 hadits termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam al-Bukhari. Silahkan lihat, mukaddimah kitab Fat-hul Bari karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Risaalah Bayna al-Imaamain; Muslim Wa ad-Daaruquthni karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali serta Risaalah al-Ilzaamaat Wa at-Tatabbu’ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy. TANYA Apakah Imam ad-Daaruquthni mengeritik seluruh aspek? JAWAB Kritikannya tidak meliputi semua aspek, sebagian yang dinyatakannya ada benarnya dan sebagian lagi keliru. Terkadang –bahkan seringkali- ia hanya mengeritik sisi sanad jalur transmisi hadits tanpa matan teks-nya. NB Sekalipun demikian, adanya kritik ini tidak mengurangi atau pun mempengaruhi kesepakatan umat Islam untuk menerima hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari dan Muslim dan penilaian bahwa keduanya adalah yang paling benar setelah al-Qur’an al-Karim-red. SUMBER As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-Adawy, TANYA Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim saja tanpa mau melirik kepada kitab-kitab sunnah yang lain? Apakah al-Bukhari dan Muslim mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja? JAWABTidak dapat disangkal lagi, bahwa pendapat itu jauh dari benar bahkan bisa terjerumus ke dalam kesesatan karena sama artinya dengan menolak sunnah Rasulullah SAW. Al-Bukhari dan Muslim tidak mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja. Seperti yang diinformasikan para ulama dari al-Bukhari, bahwa ia pernah berkata, “Aku hafal 100 ribu hadits shahih.” Para ulama itu juga menukil darinya yang mengatakan, “Tapi aku tinggalkan hadits-hadits lain yang shahih karena khawatir terlalu panjang bertele-tele.” Al-Bukhari sendiri telah menshahihkan sendiri hadits-hadits yang bukan shahih. Hal ini nampak secara jelas sekali dalam pertanyaan-pertanyaan at-Turmudzi kepadanya seperti yang terdapat di dalam Sunan at-Turmudzi. Para ulama juga menukil dari Muslim hal serupa di mana ia pernah mengatakan, “Bukan segala sesuatu yang menurutku shahih lalu aku muat di sini.” Jadi, tidak dapat diragukan lagi kebablasan orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain saja dan menolak kitab selain keduanya. SUMBER As’ilah Wa Ajwibah Fii Mustholah al-Hadiits karya Musthafa al-Adawi, TANYA Bagaimana kita mengenali seorang shahabat? JAWAB Kita mengenalinya melalui salah satu dari hal-hal berikut 1. Tawaatur Pemberitaan tentangnya secara mutawatir alias mustahil terjadi kebohongan karena banyaknya periwayat terpercaya menyatakan hal itu; apakah ada orang yang meragukan Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab RA sebagai shahabat? Jawabannya, tentu, tidak.! 2. Syuhrah Ketenaran dan banyaknya riwayat yang mengisahkannya melalui beberapa hal. Contohnya, Dhimaam bin Tsa’lbah RA yang tenar dengan hadits kedatangannya menemui Nabi SAW, Ukasyah bin Mihshan RA yang kisahnya dijadikan permisalan/pepatah yaitu ucapan Rasulullah SAW, “Sabaqoka Ukaasyah’ ; Ukasyah sudah terlebih dulu darimu-red.* 3. Dimuatnya hal itu dalam hadits yang shahih, seperti ada salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi SAW didatangi oleh si fulan bin fulan atau hadits tersebut bersambung sanadnya kepada seorang laki-laki yang menginformasikan bahwa si fulan termasuk orang-orang yang mati syahid dalam perang bersama Rasulullah SAW. Atau informasi apa saja dengan cara tertentu bahwa orang ini atau itu sudah terbukti Shuhbah-nya bertemu dan beriman dengan Rasulullah SAW dan mati dalam kondisi itu. 4. Penuturan tertulis dari seorang Tabi’i generasi setelah shahabat bahwa si fulan adalah seorang shahabat. Yaitu seperti ia mengucapkan, “Aku mendengar salah seorang shahabat Nabi SAW, yaitu si fulan bin fulan.” 5. Penuturan shahabat itu sendiri bahwa ia bertemu Nabi SAW, seperti perkataannya, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda begini dan begitu.” Atau “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menemani bershahabat dengan Nabi SAW.” Tetapi hal ini perlu beberapa syarat, di antaranya ia seorang yang adil pada dirinya. Klaimnya tersebut memungkinkan; bila kejadian ia mengklaim hal itu sebelum tahun 110 H maka ini memungkinkan sedangkan bila ia mengklaimnya setelah tahun 110 H, maka klaimnya tersebut tertolak sebab Nabi SAW telah menginformasikan di akhir hayatnya, “Tidakkah aku melihat kalian pada malam ini? Sesungguhnya di atas 100 tahun kemudian dari malam ini, tidak ada lagi seorang pun yang tersisa di atas muka bumi ini.” I211, Muslim, Abu Daud, Ini merupakan argumentasi paling kuat terhadap orang yang mengklaim nabi Khidhir masih hidup hingga saat ini segaimana klaim kaum Sufi di mana salah satu dari mereka sering mengaku telah bertemu nabi Khidhir dan berbicara secara lisan dengannya.!? Intermezzo Seorang laki-laki India bernama Rotan pada abad VI mengaku bahwa dirinya adalah shahabat Nabi SAW dan dia telah dipanjangkan umurnya hingga tanggal tersebut. Kejadian itu sempat menggemparkan masyarakat kala itu. Maka, para ulama pada masanya atau pun setelahnya membantah pengakuannya tersebut. Di antaranya, al-Hafizh adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul “Kasr Watsan Rotan.” Pepatah tersebut diungkapkan orang Arab untuk menyatakan ketidak beruntungann seseorang dalam memperoleh sesuatu karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu memperolehnya. Seperti misalnya, bila ada seseorang memberikan hadiah kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, lalu ada yang menjawabnya sedangkan hadiah itu hanya untuk satu orang saja. Kemudian ada orang lain meminta diberi pertanyaan lagi agar dapat menjawabnya dan memperoleh hadiah. Maka orang yang memberikan itu tadi, mengatakan kepadanya pepatah tersebut. Artinya, terlambat, si fulan sudah terlebih dahulu kamu sudah keduluan sama si fulan.!!, wallahu a’lam-red SUMBER Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, 106-107
Hadits Dalam Ash-Shahihain Yang Manakah Yang Dihukumi Dengan Hukum “Shahih”? Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumullah tidaklah memasukkan ke dalam kitab Shahihnya kecuali hadits-hadits yang shahih saja dan bahwasanya umat Islam secara keseluruhan sepakat untuk menerima hadits-hadits tersebut. Namun hadits-hadits seperti apakah yang dihukumi dengan hal tersebut? Jawabnya adalah Bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya al-Bukhari dan Muslim dengan sanad yang bersambung, maka itulah yang dihukumi dengan hukum shahih. Adapun yang dihapus satu perawinya atau lebih di awal sanadnya -Yang dikenal dengan nama Mu’alaq, dan ia Mu’alaq banyak terdapat di Shahih al-Bukhari, namun hanya ada di judul bab dan Muqaddmah pembukaan saja, tidak ada sedikitpun di inti bab. Adapun dalam Shahih Muslim, maka hanya ada satu hadits, yaitu yang ada di bab Tayammum dan tidak diriwayatkan dengan sanad bersambung di tempat lain,-, maka hukumnya sebagai berikut Pertama Yang diriwayatkan dengan redaksi jazm kata kerja aktif, seperti قَالَ dia mengatakan, أَمَرَ dia memerintahkan dan ذَكَرَ dia menyebutkan, maka sanad tersebut dinyatakan shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Kedua Yang diriwayatkan dengan redaksi tidak jazm kata kerja pasif, seperti قِيلَ dikatakan, أمِرَ diperintahkan dan ذُكِرَ disebutkan, maka ia tida bisa hukumi shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Namun demikian tidak ada status hadits Wahin sangat lemah dalam hadits-hadits tersebut, dikarenakan keberadaannya di kitab yang dinamai oleh penulisnya al-Bukhari dan Muslim “ash-Shahih.” Apa Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih? Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa sebagian ulama menyebutkan sanad yang paling shahih yang ada pada mereka. Maka berdasarkan pada hal itu, dan pada keberadaan syarat-syarat yang lain dari hadits Shahih, maka kita dapat mengatakan bahwa hadits Shahih memiliki tingkatan. Pertama Yang paling tinggi adalah apa yang diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih,seperti raiwayat dengan sanad dari Malik, dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Kedua Yang di bawah tingkatan itu adalah yang diriwayatkan dari jalur para perawi yang mereka lebih rendah kedudukannya dibandingkan para perawio yang pertama. Seperti riwayat Hammad bin Salamah rahimahullah dan Tsabit rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Ketiga Yang lebih rendah tingkatannya dari itu adalah apa yang diriwayatkan oleh para perawi yang pada dirinya terdapat sifat tsiqah yang paling rendah tingkatannya. Seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih rahimahullah dari bapaknya rahimahullah dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Dan digabungkan dengan perincian di atas pembagian hadits shahih menjadi tujuh tingkatan, yaitu Pertama Yang disepakati keshahihannya oleh imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, dan ini adalah tingkatan yang paling tinggi. Kedua Yang diriwayatkan sendirian oleh imam al-Bukhari rahimahullah. Ketiga Yang diriwayatkan sendirian oleh imam Muslim rahimahullah Keempat Yang sesuai dengan syarat keduanya syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitab mereka berdua. Kelima Yang sesuai dengan syarat al-Bukhari rahimahullah, namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya Keenam Yang sesuai dengan syarat Muslim rahimahullah , namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya Ketujuh Hadits shahih yang ada pada kitab selain keduanya dari kalangan para Imam ahl hadits seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban rahimahumallah dari hadits-hadits yang tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Apa Yang Dimaksud Syarat Syaikhain Syarat al-Bukhari dan Muslim? Asy-Syaikhani/Asy-Syaikhain al-Bukhari dan Muslim keduanya tidak menyatakan secara tegas gamblang tentang syarat yang keduanya persyaratkan atau yang keduanya tetapkan sebagai tambahan dari syarat-syarat yang telah disepakati dalam hadits shahih. Namun dari penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh para peneliti dan pengkaji dari kalangan ulama terhadap uslub metode keduanya, nampak mereka bagi sesuatu, yang masing-masing dari mereka mengira bahwa itu adalah syarat keduanya atau syarat salah satu dari keduanya. Dan perkataan yang paling baik dalam masalah ini adalah”Bahwasanya yang dimaksud dengan syarat Syaikhain atau salah satu dari keduanya adalah, bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang ada di kedua kitab tersebut Shahih al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, dengan tetap memperhatikan kepada cara/metode yang dipegang teguh oleh keduanya dalam meriwayatkan hadits dari mereka.” Apa Makna Ucapan Para Ulama “Muttafaqun Alaihi”? Apabila para ulama hadits berkata tentang sebuah hadits” Muttafaqun Alaihi”, maka maksud mereka adalah kesepakatan asy-Syaikhain, yakin sepakatnya Syaikhain tentang shahihnya hadits tersebut, bukan kesepakatan seluruh ummat. Hanya saja Ibnu Shalah rahimahullah berkata”Akan tetapi kesepakatan ummat terhadapnya hadits itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keniscayaan dari hal itu, dan menjadi kesimpulan dari perkataan itu, dikarenakan kesepakatan mereka ummat untuk menerima hadits-hadits yang disepakati shahih oleh keduanya” Apakah Hadits Shahih Diharuskan Berasal Dari Haidts Aziz ? Yang benar adalah bahwa tidak dipersyaratkan dalam hadits Shahih statusnya sebagai hadits Aziz hadits yang diriwayatkan oleh minimal dua orang perawi dalam tiap-tiap thabaqat sanad, artinya hendaknya hadits itu memiliki dua sanad. Hal ini karena ada di dalam -Shahihain dan kitab-kitab hadits-hadits yang shahih namun ia Gharib hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi dalam salah satu thabaqat sanadnya. Dan sebagian ulama mengira hal itu mengira bahwa syarat hadits shahih adalah harus berstatus Aziz, seperti Abu Ali al-Jubba’i al-Mu’tazili, dan Imam al-Hakim. Dan perkataan mereka ini menyelishi kesepakatan ummat. Sumber تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dengan sedikit tambahan. Maktabah Ma’arif, Riyadh, halaman 42-44. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono.
pertanyaan sulit tentang hadits shahih